Oleh: S. Handoko Jati, S.H
Wartawan senior
Menjelang akhir masa jabatannya, Fauzi tiba-tiba meningkatkan intensitas pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah Kabupaten Sumenep. Mulai dari perbaikan jalan, pembangunan fasilitas umum, dan tugu keris yang disebut tidak memiliki dampak serta manfaat untuk masyarakat, semua itu tampaknya berjalan dalam tempo yang cepat dan serentak. Namun, langkah Fauzi ini justru menuai kritik dari berbagai kalangan yang menilai bahwa pembangunan tersebut lebih sebagai strategi politik untuk mendongkrak elektabilitasnya jelang Pilkada, bukan hasil dari perencanaan matang sejak awal masa kepemimpinannya.
Hal ini mengundang pertanyaan besar, mengapa Fauzi baru menggeber pembangunan pada saat-saat terakhir jabatannya? Jika ia benar-benar berkomitmen pada kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerah, seharusnya program pembangunan dikerjakan secara bertahap dan konsisten sejak awal masa kepemimpinannya. Keputusan untuk menunda banyak proyek hingga menjelang akhir jabatan memperlihatkan adanya kecenderungan politis, seolah-olah Fauzi ingin “membeli” dukungan dengan menunjukkan hasil kerja di momen krusial.
Banyak yang meragukan niat tulus Fauzi dalam pembangunan tersebut, terutama karena pola ini sering kali terjadi di dunia politik. Seorang pemimpin yang jarang melakukan terobosan besar di awal atau pertengahan jabatan tiba-tiba aktif membangun saat masa pemilihan semakin dekat. Hal ini membuat publik skeptis, apakah proyek-proyek yang digalakkan Fauzi benar-benar dilakukan untuk kepentingan jangka panjang masyarakat, atau semata demi kepentingan elektoral untuk memperkuat posisinya di mata calon pemilih.
Selain itu, pembangunan yang dipercepat di akhir jabatan sering kali menimbulkan kekhawatiran terkait kualitas proyek yang dikerjakan. Terburu-burunya waktu pelaksanaan dapat menyebabkan penurunan standar mutu dalam proses pengerjaan, yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat sendiri. Proyek-proyek yang dibangun dengan cepat, tanpa perencanaan yang matang dan pengawasan yang ketat, rentan terhadap korupsi, ketidaksesuaian spesifikasi, dan kualitas yang buruk.
Tidak hanya itu, proyek-proyek yang digeber di akhir masa jabatan cenderung tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat secara komprehensif. Dalam kasus Fauzi, ada proyek yang mungkin hanya dikerjakan di wilayah-wilayah strategis yang bisa menarik perhatian publik dan menambah popularitasnya, sementara daerah lain yang lebih membutuhkan perhatian justru terabaikan. Ini menunjukkan bahwa pembangunan yang dilakukan bukan berdasarkan kebutuhan nyata, melainkan lebih karena pertimbangan elektoral.
Strategi Fauzi untuk memanfaatkan pembangunan infrastruktur sebagai alat politik juga tidak lepas dari kritikan masyarakat yang semakin cerdas dan kritis. Banyak yang menyadari bahwa proyek-proyek yang diluncurkan pada akhir jabatan ini hanyalah upaya untuk menutupi ketidakmaksimalan kinerja Fauzi selama empat tahun terakhir. Seandainya pembangunan dilakukan secara konsisten sejak awal, tentu masyarakat akan lebih percaya pada kesungguhan Fauzi dalam memajukan daerah, bukan sekadar mencari dukungan jelang Pilkada.
Pemimpin yang baik seharusnya memanfaatkan seluruh periode jabatannya untuk bekerja bagi masyarakat, bukan hanya mengandalkan momentum politik di tahun terakhir. Pembangunan yang dilakukan secara terburu-buru di akhir jabatan tidak hanya menunjukkan kurangnya perencanaan, tetapi juga mengorbankan kesejahteraan masyarakat demi ambisi politik jangka pendek. Hal ini membuktikan bahwa Fauzi lebih mementingkan citra dan perolehan suara daripada memberikan pelayanan yang maksimal selama masa jabatannya.
Pada akhirnya, publik harus tetap kritis terhadap langkah-langkah politik seperti yang dilakukan Fauzi ini. Mereka harus dapat menilai apakah pembangunan yang digencarkan benar-benar dilakukan untuk kepentingan jangka panjang atau hanya sebagai alat politik untuk memenangkan suara. Jangan sampai pembangunan yang terjadi hanya sekadar “hiasan” yang bertahan sekejap, sementara masyarakat tidak merasakan dampak positif yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.