Oleh: Sulaisi Abdurrazaq
(Direktur LKBH IAIN Madura)
WARTAWAN dan perusahaan pers profesional pasti terganggu dengan tingkah dan perilaku wartawan abal-abal. Perusak citra, reputasi, kehormatan dan martabat jurnalis. Profesi terhormat jurnalis menjadi tercemar. Aktifitas pers profesional terganggu.
Kalimat “dasar wartawan abal-abal” adalah warisan dari Sabam Leo Batubara, tokoh jurnalis nasional yang pernah menjabat Dewan Pers periode 2003-2006 dan menjabat wakil ketuanya periode 2006–2009.
Pak Leo–sapaan akrabnya–kerap melontarkan kalimat itu guna mengkritik sekaligus memotivasi wartawan Indonesia.
Kata Pak Leo, “Pers yang tidak cerdas dan membuat sulit masyarakat adalah kelompok abal-abal. Wartawannya pun abal-abal”.
“Anda tentunya paham kode etik jurnalistik dari Dewan Pers yang berjumlah 50 pasal ya?”
Pertanyaan begitu sering dilontarkan Pak Leo. Begitu wartawan yang ditanya menjawab, “Ya Pak,” Pak Leo biasanya tersenyum, lalu menimpali: “Ah, kau dasar wartawan abal-abal.”
Selain itu, Ketua Dewan Pers 2016-2019, Yosep “Stanley” Adi Prasetyo juga pernah menyorot perihal wartawan abal-abal alias wartawan gadungan yang dinilai mengusik kehidupan pers.
Menurutnya: “menghadapi wartawan gadungan dan media massa palsu, tak ada pilihan Dewan Pers dan komunitas pers harus melakukan uji kompetensi wartawan dan sertifikasi perusahaan pers karena ada banyak wartawan yang tidak digaji tapi punya kartu pers dan tertulis.”
Jadi, jika ada yang mengaku wartawan, tapi dia tidak digaji, karya jurnalistiknya tak bermutu dan cenderung bertentangan dengan Kode Etik Jurnalistik, ya jelas dialah wartawan abal-abal.
Indonesia punya perangkat hukum dan etik yang berfungsi menjaga kemerdekaan pers sekaligus instrumen represif untuk pers yang melanggar, yaitu UU No.40/1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Jadi, jika ada yang mengaku wartawan, tapi karya jurnalistiknya bertentangan dengan dua instrumen itu, sebaiknya semua pihak tegas mengambil langkah etik dan langkah hukum.
Karena kalau tidak, kondisi kebangsaan kita bisa terbelah. Kehangatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tak kan terwujud. Demokrasi bisa mati.
Oleh karena itu, wartawan-wartawan profesional, yang selalu menjaga kualitas karya jurnalistiknya dan menghindari peras memeras harus tampil di baris terdepan. Angkat telunjuk. Tuding wajah wartawan abal-abal. Protes. Agar dia jera.
Mengapa begitu? Karena, media dan wartawan profesional yang dapat menyehatkan demokrasi dan menjadi instrumen perekat sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tulisan ini terpaksa saya share untuk mengkritik dan memberi peringatan bagi wartawan abal-abal.
Dahulu, 12 Oktober 2019 saya pernah kritik keras wartawan yang “demam” karena dibilang “ecek-ecek” oleh salah satu Wakil Ketua DPRD Sumenep. Wartawan marah. Berita yang viral justru berita-berita emosional.
Padahal saat itu saya sedang mengkritik keras melalui forum diskusi Kejaksaan Negeri Sumenep/Kejagung yang tidak menyeret Achmad Fauzi (dahulu Wakil Bupati Sumenep) dalam dugaan korupsi Participating Interest Migas Sumenep.
Nama Achmad Fauzi (dahulu masih belum Wongsojudo) disebut punya peran cukup terang dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, namun sampai saat ini tak tersentuh hukum. Sakti. Kini ia menjabat Bupati Sumenep dan di-endorse sedemikian rupa untuk maju di Pilgub Jatim 2024.
Berita-berita emosional karena dibilang “ecek-ecek” jauh lebih massif daripada isu korupsi PI Migas. Saya nilai terjadi distorsi dan disorientasi.
Diskusi Media itu digelar tanggal 12 Oktober 2019 di Warunk UPNORMAL (saat ini LOTUS) Sumenep dengan Tema:
“Analisis Konten Media: Demam “Ecek-Ecek” dan Hegemoni Oligarki di Tanah Sumekar”.
Pematerinya Penasehat PWI Sumenep dan Ketua PWI Pamekasan. Saya sendiri yang pandu.
Selain itu, masih di Kabupaten Sumenep. Mewakili klien, saya kirimi tiga perusahaan media berikut wartawannya Surat Peringatan karena beritanya menuduh, menghakimi dan menyudutkan klien. Tak sesuai fakta.
Media yang satu menggunakan teman wartawan lainnya sebagai nara sumber dan ditulis berkomentar sebagai aktifis, bukan sebagai wartawan. Begitu pula sebaliknya. Yang media satu lagi tidak pernah wawancara, copy paste aja.
Setelah itu wartawan-wartawan itu meminta maaf dan masing-masing memenuhi hak koreksi serta hak jawab. Masalah selesai.
Namun, tak lama kemudian, wartawan abal-abal itu ditangkap polisi karena kedapatan menghisap sabu-sabu.
Di Pamekasan dan Sampang juga sudah berkali-kali saya diminta klien untuk meluruskan berita karya wartawan abal-abal yang potensial menyerang kehormatan dan nama baik klien.
Kali ini di Pamekasan, berkaitan dengan klien saya, Kepala Desa Laden yang disudutkan sedemikian rupa.
Terdapat dua media dengan judul berbeda, namun substansi sama.
Pertama, faamnews.com biro Pamekasan dengan judul berita: “Diduga Sunat Gaji Perangkat Desa, Kades Laden Terancam Dipidanakan”.
Kedua, Madura Post tanggal 2 Agustus 2023 dengan judul berita: “Kades Laden Pamekasan Diduga Sunnat Gaji Perangkat Desa”.
Masalahnya, yang meminta konfirmasi pada klien saya wartawan faamnews.com Biro Pamekasan.
Namun, yang berperan sebagai narasumber mengancam-ngancam pidana juga Ketua Tim Investigasi LSM FAAM Wilayah Madura dengan identitas yang patut diduga identik. Sehingga satu orang berperan ganda. Wartawan sekaligus anggota LSM.
Padahal, tidak ada narasumber yang menyatakan “pemotong/penyunat” gaji perangkat adalah Kades Laden. Pewartanya menyimpulkan tanpa berdasar pada narasumber.
Sementara Madura Post terindikasi seluruhnya copy paste. Tidak pernah konfirmasi kepada Kepala Desa Laden, namun isi beritanya sama persis dengan berita faamnews.com.
Karena itu saya kirimi Surat Peringatan meminta dua media itu patuhi Kode Etik Jurnalistik, penuhi hak jawab dan hak koreksi klien.
Melalui tulisan ini saya mengapresiasi itikad baik faamnews.com yang dengan cepat memuat hak jawab dan hak koreksi Kepala Desa Laden tanggal 7 Agustus 2023 dengan judul: “Kepala Desa Laden Tepis Isu Pemotongan Gaji Perangkat di Desanya. Pengacara Kondang Angkat Bicara”.
Dalam berita itu, menurut faamnews.com biro Pamekasan, berita terdahulu ditulis berdasar pengakuan narasumber, yakni mantan Kepala Dusun Sekar Putih.
Bahkan, berdasar pula pada Surat Pernyataan Keberatan yang berisi point keberatan atas pemotongan gaji/siltap yang ditandatangani di atas materai.
Namun, mewakili Kepala Desa Laden saya tegaskan bahwa mantan Kepala Dusun Sekar Putih Desa Laden itu mengundurkan diri karena menjadi ASN/PPPK sehingga potensial double accounting dan dapat merugikan keuangan negara.
Selain itu, dia tidak pernah masuk ke Balai Desa Laden. Yang masuk orang lain.
Karena itu, jika mantan Kepala Dusun Sekar Putih Desa Laden itu mau mengambil langkah hukum, maka kami nyatakan siap untuk melakukan langkah serang balik jika tuduhannya tidak terbukti.
Hukum pidana adalah ultimum remedium atau jalan terakhir yang dapat menjadi alat menertibkan manusia disorder.
Bagi Madura Post yang hanya copy paste dari faamnews.com, jika telah melewati batas waktu Surat Peringatan tidak ada itikad baik, kami akan dengan segera melakukan langkah hukum untuk menguji apakah klien kami yang benar, atau sebaliknya.
Bagaimana menurut teman-teman? [*]