Batas Kewenangan Advokat Dalam Obstruction of Justice Dalam Penegakan Hukum

Oleh : Mbah Gantol

Sependapat dengan profesor Sadjijono soal Obstruction Of Justice (lebih mudah kita sebut OJ) dalam prakteknya OJ memang tidak harus bermakna tunggal secara harfiah saja,namun secara praktek tanpa disadari para lawyer melekat OJ itu pada proses hukumnya.

Batas kewenangan Advocat terkait OJ adalah pasal 1 angka 3 UUD 1945 menegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk republik kedaulatan berada di tangan rakyat dan berdasarkan hukum (rechtstaat) bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (mahtsaat).

Demikian dikatakan ahli hukum universitas Bhayangkara Surabaya saat memberikan materi pada diskusi nasional advokat yang dibarengkan dengan acara halal bihalal. Pada Sabtu 13 Mei 2023 di sebuah hotel jalan Ayani Surabaya.

Hadir di acara itu antara lain Ketua DPD KAI Jatim Adv. Dr. Rizal Haliman SH., MH., CIL, Vice Presiden DPP KAI Adv. Dr. KP. H. Heru S Notonegoro., SHMH., CIL., CRA, dan guru besar Ubhara Prof Dr Sariono SH., M Hum, beserta Adv. Dr Friedrich Yunadi SH., LLM., MBA sebagai narasumber dengan pemantik Adv. Abdul Wahid SH.

Kedudukan, dan Unsur Obstruction of Justice dalam Proses Hukum

Obstruction of justice dianggap sebagai bentuk tindakan kriminal karena menghambat penegakan hukum dan merusak citra lembaga penegak hukum.
Willa Wahyuni sebagaimana dimuat pada hukum online edisi 18 Oktober 2022.

Obstruction of Justice adalah tindakan yang mengancam dengan atau melalui kekerasan, atau dengan surat komunikasi yang mengancam, memengaruhi, menghalangi, atau berusaha untuk menghalangi administrasi peradilan, atau proses hukum yang semestinya.

Pengertian Obstruction of Justice

Oemar Seno Adji dan Indriyanto Seno Adji dalam Peradilan Bebas Negara Hukum dan Contempt of Court menjelaskan, obstruction of justice merupakan tindakan yang ditunjukan maupun mempunyai efek memutarbalikkan proses hukum, sekaligus mengacaukan fungsi yang seharusnya dalam suatu proses peradilan.

OJ dianggap sebagai bentuk tindakan kriminal karena menghambat penegakan hukum dan merusak citra lembaga penegak hukum. Oleh karenanya, OJ dikategorikan sebagai salah satu jenis perbuatan pidana Contempt of Court atau penghinaan pada pengadilan.

Di Indonesia, tindakan OJ telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yaitu dalam pasal 221 KUHP dan pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam pasal 221 KUHP, disebutkan pengertian OJ adalah suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku yang terbukti berupaya untuk menghalang-halangi suatu proses hukum.

Dasar hukum obstruction of justice dijelaskan dalam pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatakan, setiap orang yang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama dua belas tahun dan atau denda paling sedikit 150 juta dan paling banyak 600 juta

Tiga Unsur Perbuatan Yang Dijatuhi Hukuman Pidana Obstruction of Justice, yaitu:

1. Tindakan tersebut menyebabkan tertundanya proses hukum (pending judicial proceedings)

2. Pelaku mengetahui tindakannya atau menyadari perbuatannya (knowledge of pending proceedings)

3. Pelaku melakukan atau mencoba tindakan menyimpang dengan tujuan untuk mengganggu atau mengintervensi proses atau administrasi hukum (acting corruptly with intent).

Di beberapa peradilan di Amerika, ditambahkan satu syarat untuk menjatuhi hukuman obstruction of justice, yaitu pelaku harus dapat dibuktikan memiliki motif, seperti motif ingin bebas dari tuntutan, motif ingin pengurangan masa tahanan, dan lain-lain.
(penulis adalah direktur LBH FPY Kediri raya, tinggal di Tulungagung)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *