Oleh: Sulaisi Abdurrazaq
KOMENTAR itu penting, asal berbobot. Jangan ngawur dan konyol kayak orang kopler.
Saya hindari komentari masalah di luar perkara yang masuk ke meja kerja saya.
Tapi, terkait TKD Kolor Kec. Kota Sumenep, TKD Cabbiya dan Talango Kec. Talango Sumenep tahun 1997 saya cermati ada pengamat becek seratus ribuan yang sering komentari saya di media.
Media-media yang memuat, sejak awal menjadikan satu pengamat becek ini sebagai nara sumber tunggal, medianya tak pernah konfirmasi saya.
Pada kasus lain, saya pernah beri peringatan seorang wartawan yang sekaligus jadi nara sumber di media, karena suka ngawur dan konyol. Seminggu kemudian ditangkap polisi akibat sabu-sabu. Dia meringkuk di balik jeruji.
Ternyata, ada juga wartawan-pengamat pemakai sabu. Pengamat kopler. Becek.
Dalam kasus ini, mau tahu yang saya sebut wartawan-pengamat seratus ribuan?
Media-media seperti Gempar Data, CMN dan Berita Viral menyebutnya Rasyid Nahdiyin. Tapi dalam dokumen saya nama aslinya adalah Abd. Rasid.
Saya Penasehat Hukum di media Gempar Data, tapi kalau cara kerjanya begini, saya beri kartu kuning. Jika terpaksa saya akan minta agar dihapus saja status saya sebagai Penasehat Hukum di Gempar Data.
Perkara yang saya tangani perkara besar, yang menentukan nasib banyak orang. Harus ada edukasi hukum dalam perkara ini, bukan lelucon.
Media itu wajib memberi edukasi, kroscek data, lakukan analisis. Kalau mau komentar ngawur bisa gunakan media sosial, jangan kanal berita. Itu merusak kehormatan profesi jurnalistik.
Tidak jelas mengapa media-media menyematkan kata Nahdiyin di belakang nama Rasid. Apakah supaya terkesan dia nahdiyin supaya disegani, atau kemana arahnya.
Saya ingin menyebut Abd. Rasid ini wartawan-pengamat seratus ribuan, karena rekam jejaknya becek, suka ngamen seratus ribuan ke beberapa Kades.
Thierry Henry, seorang atlet sepak bola profesional, harus gantung sepatu dulu sebelum memutuskan menjadi pengamat sepak bola dengan bayaran termahal di Inggris.
Abd. Rasid mengambil posisi peran ganda, wartawan sekaligus pengamat kebijakan publik. Ngawur lagi. Tak seperti Thierry Henry yang dibayar, Abd. Rasid harus ngamen agar dapat seratus ribu.
Saya bilang ngawur karena komentarnya ngelantur, tidak berbasis data, jauh dari fakta, nyebut nama saya saja salah, apalagi bahas hukum. Beritakan praperadilan minta jaksa objektif. Padahal ga ada kaitan dengan jaksa. Pengamat kebijakan publik yang dikomentari kasus hukum. Menyesatkan sekali.
Kalau Abd. Rasid mau tahu bagian mana yang menyesatkan, nanti saya beber, berikut dokumen elektronik yang tercecer di meja saya, baik bukti transfer maupun record yang membuktikan dirinya wartawan-pengamat yang becek.
Jika tidak tobat, saya khawatir nanti cidera. (*)