Bagiberita.id, Sumenep – Keluarga korban dugaan penipuan dan penggelapan uang sebesar Rp211 juta mengaku kecewa berat dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Sumenep. Dalam kasus yang melibatkan terdakwa Juhairia binti Dinawi, pengadilan justru menyatakan bahwa perbuatannya bukan tindak pidana, melainkan perkara perdata.
Dalam wawancara eksklusif dengan Bagiberita.id, pihak pelapor yang mendampingi korban, Qusairi, mengungkapkan berbagai kejanggalan dalam proses hukum hingga keluarnya putusan tersebut.
“Kami sebenarnya hari ini ingin menyerahkan dokumen tambahan ke pengadilan negeri,” ujar Kartika Sari yang menjadi salah satu pendamping hukum Qusairi, Senin (26/5/2025).
Ia menjelaskan, kasus ini bermula dari dugaan penipuan yang dilakukan Juhairia kepada Kusairi dengan total kerugian mencapai Rp211.068.000. Proses hukum berjalan dari pelaporan ke polisi dengan pasal 378 KUHP (penipuan) dan 372 KUHP (penggelapan), kemudian berlanjut ke kejaksaan dan naik ke meja hijau.
Namun, hasil putusan pengadilan membuat pihak korban terkejut. Dalam salinan putusan disebutkan:
“Terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, tetapi bukan merupakan tindak pidana.”
Lebih lanjut, terdakwa langsung dibebaskan setelah putusan dibacakan.
Yang paling mengejutkan bagi pelapor adalah isi salinan putusan yang menyebutkan bahwa terdakwa pernah mengembalikan sebagian uang, yakni sebesar Rp34 juta. Padahal menurut keterangan korban Kusairi dan saksi Nurul Wakiah dalam persidangan, uang sepeser pun tidak pernah dibayarkan oleh terdakwa.
“Korban dan saksi tegas berkali-kali mengatakan bahwa tidak ada pengembalian uang. Tapi dalam salinan putusan malah disebut ada cicilan Rp34 juta. Ini penyimpangan fakta yang sangat serius,” tegasnya.
Pihaknya mencurigai telah terjadi manipulasi dalam berita acara persidangan. Bahkan saat proses menyusun memori kasasi bersama jaksa, mereka menemukan keterangan dalam berita acara yang seolah-olah menyatakan terdakwa pernah mencicil, padahal keterangan itu tidak pernah keluar dari mulut korban maupun saksi.
“Ini bukan sekadar putusan janggal, tapi sudah menyimpang dari fakta hukum. Ada indikasi kuat penghilangan pasal 378 sejak di proses penyidikan. Kami akan melaporkan ini secara resmi dan sudah kami sampaikan ke Komisi Yudisial (KY) serta akan kami bawa ke Mahkamah Agung,” tambahnya.
Kasus ini menjadi perhatian publik karena memperlihatkan bagaimana dugaan tindak pidana murni dapat berubah menjadi perdata di pengadilan. Pihak korban tetap berkomitmen menempuh jalur hukum hingga tuntas.
“Ini bukan hanya soal keadilan untuk korban, tapi juga uji integritas sistem hukum kita. Kalau pelaku bisa bebas hanya karena dianggap perdata, maka penipuan semacam ini akan terus berulang,” pungkasnya.