Oleh: Fauzi AS
Kejaksaan Tinggi Jawa Timur telah menggeledah rumah sang Korkab BSPS di Sumenep. Barang bukti telah dibawa.
Rumah sudah disisir, dompet mungkin juga sudah diperiksa, dan kucing peliharaan pun barangkali ditatap dengan curiga.
Tapi pertanyaan yang lebih filosofis kini menyeruak.
Bagaimana dengan berita keterlibatan oknum partai Merah dan Biru?
Atau sudah ada handphone oknum kepala desa yang ikut disita?
Atau cukup satu Korkab dan satu dus barang bukti untuk menghibur publik?
Kita semua paham, di Sumenep BSPS itu seperti bukan singkatan dari Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya, tapi Bantuan Stimulan Persekongkolan Sistematis.
Program swadaya hayalan yang hanya bisa berhasil jika diswadayakan oleh kepala desa, LSM, toko material, dan mungkin juga tukang parkir balai desa.
Mari jujur sebentar!
Apa mungkin satu orang Korkab bisa membangun ekosistem pemotongan dana bantuan dari Sapeken sampai Ambunten?
Apa mungkin seorang Rizky Pratama, tanpa embel-embel kekuasaan lokal, bisa leluasa mengatur siapa dapat batu bata, dan siapa dapat janji saja?
Rasanya terlalu naif bila nanti kasus ini ditutup dengan satu koper berisi berkas dan satu nama sebagai tumbal pembesar.
Kita perlu ingat, banyak oknum kepala desa yang terekam kamera wartawan saat berkumpul malam-malam sebelum jadwal pemanggilan.
Menurut data lapangan, malam itu banyak oknum Kades yang mendadak menjadi “penjamin material”, “pengatur toko bangunan”, atau sekadar tukang bawa meteran.
Padahal sejatinya mereka sedang mengukur peluang untuk tidak ikut terseret.
Kini setelah rumah Korkab digeledah dan warga sempat menonton sinetron live action Kejati x TNI x Innova, muncul harapan-harapan baru.
• Mudah-mudahan tidak ada calon tersangka yang hilang.
• Tidak ada dokumen penting yang “terbakar.”
• Tidak ada pesan WhatsApp yang mendadak unsend all.
• Dan tentu saja, tidak ada handphone yang hilang sinyal begitu masuk ruang penyidik.
Sebab kita juga tahu, kadang hilangnya tersangka dalam kasus yang ditangani kejaksaan Sumenep seperti bagian dari tata cara ritual penyelidikan.
Seperti dalam kasus PIP, sebuah kebiasaan yang lebih mistis dari hilangnya sandal di masjid.
Yang lebih lucu lagi adalah narasi “penggeledahan dramatis” dengan tentara bersenjata lengkap.
Seolah-olah sedang menyergap markas kartel narkoba di Meksiko, padahal targetnya cuma rumah pribadi seorang Korkab yang sehari-hari kerjaannya mengatur material pasir dan ukuran kayu kaso.
Apa ini langkah penegakan hukum atau justru langkah teatrikal untuk menciptakan ilusi serius di tengah publik yang sudah skeptis?
Publik sudah mulai muak disuguhkan cerita korupsi yang dimulai dengan meriah namun diakhiri dengan vonis bersyarat dan tepuk tangan bisu.
Sekarang kita tunggu:
Apakah para oknum kepala desa akan ikut dipanggil lagi?
Atau sudah ada elite politik yang telah memanggil mereka lebih dulu?
Atau justru akan dibiarkan bersembunyi di balik embel-embel “kami hanya membantu, pelaksana teknis di bawah komando Korkab”?
Jika hanya satu orang yang diseret, maka pesan yang tersirat kepada oknum pejabat desa sederhana.
“Silakan kongkalikong asal jangan terlalu terlihat, dan jangan jadi Korkab.”
Jadi, wahai Kejaksaan Tinggi yang terhormat, jangan jadikan BSPS sebagai teater satu aktor.
Jangan biarkan para pemain figuran bebas selfie sambil menyalahkan skenario.
Kalau benar ada pemotongan, ada manipulasi data, ada pemakaian KTP fiktif maka rakyat ingin tahu.
Siapa yang merancang gambar bagan kejahatan ini?
Karena Korkab kita duga hanya eksekutor, bukan penulis naskah. Dan terakhir, sebelum terlalu larut, izinkan saya bertanya satu hal yang polos.
Kira-kira ada tidak, elite politik atau oknum Kades yang akan ditahan duluan? Atau malah ada dosa elite yang ditimpakan pada orang yang telah meninggal?
Wallahu a’lam, rakyat kecil hanya berharap hukum berjalan lurus, jaksa tak lindungi tikus, dan BAP? Tidak tunduk pada oknum pengatur anggaran. Sebab korban BSPS hanya percaya pada kerja Jaksa Agung ibu kota.