Oleh: Fauzi As
Mari kita sepakat bahwa Kejujuran Yang Ikhlas Tak Perlu Menuding. Menghormati Pengakuan, Menuntut Ketepatan” Saya mengucapkan terima kasih kepada Mas Prengki Wirananda atas opininya yang bernas dan reflektif.
Tidak lupa saya berikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Mas Hambali Rasyidi atas keberaniannya menyampaikan pengakuan terbuka terkait aliran dana BSPS.
Sebab tidak semua orang memiliki keberanian itu, apalagi di tengah iklim sosial yang sering kali lebih gemar menyudutkan daripada mendengarkan.
Namun, seperti halnya saya menghormati kejujuran Mas Hambali, saya juga berhak mengajukan permohonan yang adil: jangan selipkan tudingan sebelum ada penegasan.
Dalam tulisan sebelumnya yang ditujukan langsung kepada saya, Mas Hambali memulai dengan kalimat, “Fauzi As, jujurlah.” Sebuah kalimat yang mengandung prasangka seolah saya telah menyembunyikan sesuatu.
Padahal saya tidak sedang bermain dalam sembunyi-sembunyi.
Mas Hambali juga menyebut bahwa seseorang yang sering berada di tempat saya disebut menerima Rp 15 juta dari dana BSPS.
Bahkan dengan enteng menyatakan, “Saya biarkan. Tak pernah saya tegur.” Maka saya katakan: saya menghormati sikap tenang Mas Hambali, tapi saya keberatan dengan cara menyisipkan nama saya dalam pusaran opini seperti itu.
Saya ajak Mas Hambali, dengan penuh hormat dan semangat keterbukaan, untuk menulis nama orang itu secara jelas. Kalau perlu, ajak dia minum kopi, saya siap hadir dan ikut duduk bersama.
Kita diskusikan dengan akal sehat dan hati yang lapang. Jangan biarkan ruang publik menjadi tempat bagi tudingan setengah matang.
Sebab saya tidak pernah menulis seseorang menerima uang hanya karena dia sering duduk di rumah Mas Hambali, lalu saya tarik kesimpulan seenaknya.
Saya percaya, opini dan tulisan adalah ruang akal dan etika. Maka mari kita latih pena untuk tetap di rel data, bukan di jalur asosiasi liar.
Jika Mas Hambali punya keberanian mengakui Rp 2.502.500 sebagai bentuk konsumsi dan kopi, saya akan katakan itu sebuah langkah gentleman
Tapi langkah gentleman wajib di ikuti dengan syarat. Jangan kemudian menyertakan nama saya secara tidak langsung sebagai tempat kumpul si penerima 15juta, lalu menyisakan kesan seolah saya ikut dalam aliran itu.
Dan soal angka: Rp 2.502.500 mungkin terasa kecil. Tapi kita tahu, kadang perkara besar justru dimulai dari keberanian menyebut yang kecil.
Maka izinkan saya mengingatkan, kepada Mas Hambali, Ainur, dan Seno, yang dalam tulisan sebelumnya juga disebut untuk menyebutkan seluruhnya dengan jujur dan menyeluruh.
Apakah benar hanya segitu? Atau ada yang terlupa? Bisa jadi bukan niat menyembunyikan, tapi daya ingat yang manusiawi.
Kalau pun nanti ada angka tambahan misalnya Rp 10 juta yang baru diingat, saya akan tetap menyambut dengan baik.
Sebab manusia adalah tempatnya lupa, bukan tempat menyusun kebohongan lalu melempar jadi opini liar.
Tapi untuk satu hal, yang menyangkut nama saya, saya nyatakan dengan tegas.
Saya bersedia memberikan hadiah sebesar Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah) kepada siapa pun yang bisa menunjukkan bukti, rekaman, transfer, atau pengakuan valid dari siapapun bahwa saya ikut menerima aliran dana BSPS.
Maaf bukan dengan niat menyombongkan diri. Tapi karena saya ingin mengajak kita semua untuk berpikir, bahwa kebenaran tidak dibangun dari opini samar atau kesan-kesan liar yang belum diverifikasi.
Saya tidak ingin masalah ini hanya jadi arisan tudingan. Mari kita buka terang-terangan. Kalau perlu ajak saya untuk diskusi pada ruang-ruang terbuka.
Siapa menerima? Dari siapa? Berapa jumlahnya? Dengan cara apa? Dan bila ada nama-nama besar yang selama ini bersembunyi di balik bayang-bayang sahabatnya, silakan maju!!!.
Jangan lagi jual nama. Jangan lagi lempar isu sambil sembunyi di balik topeng idealisme. Apa lagi hanya seorang banci yang menyamar di balik akun-akun bodong.
Terakhir, kepada Mas Prengki: terima kasih atas tulisan yang memberi panggung bagi diskusi sehat. Saya tidak tersinggung, justru saya sangat senang.
Karena lewat tulisan itu, saya tahu bahwa masih ada orang yang percaya pada pentingnya transparansi dan keberanian dalam mengakui kesalahan.
Tapi saya hanya ingin mengingatkan, diri saya dan teman dekat, bahwa di tengah pengakuan dan refleksi, kita semua tetap wajib menjaga akurasi. Jangan ada pengakuan yang hanya menyebut angka di ujung buntutnya.
Misal ada yang menerima Rp 11.500.000 tapi hanya mengaku menerima Rp 1.500.000.
Kejujuran memerlukan “Ketulusan Hati,” memiliki niat baik dalam mengatakan sesuatu, tanpa adanya maksud tersembunyi apa lagi manipulasi.
Jika tidak, publik hanya akan terus memaki orang yang tidak bersalah, dan itu merupakan ironi paling menyakitkan dari sebuah perjuangan yang katanya atas nama kebenaran.
Mari kita nyalakan terang, tapi jangan arahkan senter ke mata orang yang tidak pernah ikut berdiri di sana.