Oleh: Ferdy Dwi Hidayat
(Aktivis Dear Jatim)
Dalam lima tahun terakhir, publik dikejutkan oleh satu fakta yang justru terasa janggal: Inspektorat Kabupaten Sumenep tidak pernah sekali pun merilis temuan serius terkait dugaan penyimpangan atau tindak pidana korupsi. Di atas kertas, hal ini mungkin bisa dibaca sebagai catatan bersih. Namun dalam realitas sosial-politik di daerah, kondisi tersebut lebih pantas dipertanyakan ketimbang dirayakan.
Inspektorat sejatinya adalah benteng terakhir pengawasan internal pemerintah daerah. Lembaga ini memiliki mandat untuk memastikan bahwa anggaran dijalankan sesuai aturan, tata kelola berjalan sehat, dan integritas pejabat publik tetap terjaga. Namun, ketika tidak ada satu pun temuan yang mengemuka, pertanyaan besar pun muncul: apakah benar birokrasi di Sumenep steril dari praktik korupsi, atau justru lembaga pengawas yang kehilangan sensitivitasnya?
Realitas di banyak daerah menunjukkan bahwa praktik penyimpangan kerap berlangsung rapi, sistemik, dan melibatkan aktor penting di lingkar kekuasaan. Menghadapi situasi semacam ini, audit administratif biasa tentu tidak cukup. Diperlukan keberanian moral, ketajaman analisis, serta independensi penuh agar fungsi inspektorat tidak terjebak hanya menjadi tukang stempel.
Justru karena nihilnya temuan, publik memiliki alasan kuat untuk mengkritisi peran Inspektorat Sumenep. Jika pengawasan benar-benar bekerja, setidaknya ada indikasi masalah yang diungkap, sekecil apa pun. Ketika semua terlihat “bersih tanpa noda”, kecurigaan justru makin menguat: apakah ini cerminan pemerintahan yang memang ideal, atau justru tanda bahwa fungsi kontrol telah kehilangan daya gigitnya?
Di titik ini, transparansi menjadi kata kunci. Lembaga pengawas tidak cukup hanya bekerja dalam ruang-ruang tertutup dan laporan administratif. Publik berhak mendapat penjelasan mengapa selama bertahun-tahun tidak ada temuan berarti. Keterbukaan inilah yang akan membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap fungsi Inspektorat.
Jika kondisi stagnan ini dibiarkan, kepercayaan publik akan terus tergerus. Maka, wajar jika kemudian masyarakat mendorong lembaga lain seperti KPK, BPKP, atau Ombudsman untuk menaruh perhatian lebih serius terhadap kinerja Inspektorat di daerah. Bukan untuk menghakimi, melainkan memastikan fungsi pengawasan tidak mati suri.
Pada akhirnya, yang dipertaruhkan bukan hanya nama baik sebuah lembaga, melainkan kualitas tata kelola pemerintahan di tingkat lokal. Bila inspektorat benar-benar hadir sebagai pengawal integritas, masyarakat akan merasakan manfaatnya. Namun bila hanya memilih diam, publik berhak menilai bahwa lembaga itu bukan lagi bagian dari solusi, melainkan bagian dari masalah.