Kemelut Kontrak Proyek Dapur Gizi Sumenep | Pekerja Tagih Pelunasan di Tengah Kabut “Sub-Kontrak Bayangan”

Dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) di Desa Kolor.

Bagiberita.id, Sumenep, Implementasi proyek Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) di Desa Kolor, Kecamatan Kota, Kabupaten Sumenep, kini diselimuti kontroversi serius terkait skema pembayaran jasa konstruksi. Seorang pekerja aluminium, Arifin, menuntut pelunasan sisa tagihan senilai Rp23,1 Juta dari total pekerjaan Rp38,1 Juta yang telah rampung dikerjakan. Kasus ini mencuatkan dugaan adanya distorsi pertanggungjawaban kontrak di lapangan.

Menurut keterangan dari perwakilan keluarga Arifin, Sunan, perjanjian kerja awal terjalin melalui perantara bernama Fani atas instruksi pemilik proyek (owner), yang diidentifikasi sebagai Fausi. Kesepakatan borongan untuk pemasangan kusen aluminium di lantai dua disetujui langsung oleh Fausi dengan nilai awal Rp18,6 Juta.

“Komunikasi awal sangat jelas. Owner (Fausi) menyetujui harga dan menjanjikan pembayaran uang muka untuk memulai pekerjaan,” jelas Sunan, Selasa (11/11).

Seiring berjalannya waktu, terjadi adendum pekerjaan yang mencakup lantai bawah (Rp13 Juta) dan pagar besi (Rp6,5 Juta), sehingga total nilai proyek aluminium meningkat menjadi Rp38,1 Juta. Arifin telah menerima uang muka (DP) sebesar Rp15 Juta melalui mekanisme tunai dan transfer, namun sisa pelunasan Rp23,1 Juta tak kunjung cair, meskipun seluruh pekerjaan telah rampung hampir dua pekan.

Polemik ini memuncak ketika permintaan pelunasan ditanggapi oleh Fausi dengan dalih pengalihan tanggung jawab. Fausi mengklaim bahwa proyek tersebut telah diborongkan secara penuh kepada pihak ketiga bernama Akma, dan oleh karena itu, ia merasa telah menyelesaikan kewajiban finansialnya kepada Akma.

Klaim ini langsung dibantah oleh pihak Arifin. “Adik saya tidak pernah menjalin relasi kerja dengan Akma. Sejak awal, ia hanya berinteraksi dan menerima instruksi langsung dari Fani dan Fausi,” tegas Sunan.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai legalitas dan transparansi skema sub-kontrak yang diterapkan dalam proyek vital ini. Pertanggungjawaban terhadap pekerja di level pelaksana menjadi kabur ketika owner proyek menunjuk entitas yang tidak dikenal oleh pekerja sebagai pemegang kontrak utama.

Kasus yang menimpa Arifin ternyata hanyalah puncak gunung es dari persoalan serupa di proyek dapur MBG tersebut. Dikonfirmasi bahwa sejumlah pekerja lain juga menghadapi isu tunggakan pelunasan. Pekerja atap bernama Agus dilaporkan masih menunggu pembayaran sekitar Rp15 Juta, dan beberapa pekerja sipil serta mandor dikabarkan mengalami nasib serupa.

Upaya penyelesaian secara musyawarah yang ditempuh keluarga Arifin dengan Fausi hingga batas waktu yang dijanjikan tidak membuahkan hasil. Kasus ini menyoroti kerentanan pekerja konstruksi terhadap komplikasi kontrak dan likuiditas proyek, yang berpotensi mencederai iklim investasi dan hubungan industrial yang sehat.

Diharapkan, pihak-pihak terkait dapat segera mengambil langkah mediasi yang definitif untuk menyelesaikan kewajiban finansial ini dan mengembalikan hak-hak para pekerja yang telah menuntaskan komitmen profesional mereka.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *